
Opini : Lindungi Keluarga dari Api Neraka: Menangkal Maksiat di Era Digital
Oleh: Dr. Jafar Ahmad, M.Si., Rektor IAIN Kerinci
Allah SWT berfirman dalam Q.S. At-Tahrim: 6, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Ayat ini bukan sekadar peringatan, melainkan seruan tegas untuk bertindak proaktif melindungi keluarga dari segala bentuk kemaksiatan. Namun, di era digital, ancaman terhadap akhlak generasi justru semakin nyata: pergaulan bebas, konten pornografi, dan disinformasi merajalela di ujung jari. Data KPAI (2023) menyebutkan 67% anak di Indonesia terpapar konten dewasa sebelum usia 12 tahun. Jika orang tua abai, siapa lagi yang akan menjadi benteng pertahanan iman?
Modernisasi telah membawa dua sisi mata uang: kemudahan akses informasi dan degradasi moral. Media sosial, game online, dan platform streaming sering kali menjadi “gerbang” maksiat terselubung. Tidak hanya merusak mental, gawai yang tidak terkontrol juga mengikis waktu belajar, ibadah, dan interaksi keluarga. Fenomena sexting, perselingkuhan daring, hingga tren kekerasan verbal di kalangan remaja adalah bukti nyata betapa dunia digital menjadi ladang subur dosa. Padahal, Allah SWT mengingatkan dalam Q.S. Maryam: 59, “Kemudian datanglah setelah mereka generasi yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsu…”.
Islam menempatkan orang tua sebagai penanggung jawab pertama pendidikan anak. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari). Artinya, pola asuh yang lalai—seperti membiarkan anak bebas bermain gawai tanpa pengawasan—adalah pengkhianatan terhadap amanah ilahi. Di negara dengan populasi muslim terbesar, ironis jika generasi justru tumbuh dengan nilai individualis dan permisif terhadap maksiat.
Tren dating apps dan budaya pacaran daring telah mendistorsi makna pergaulan sehat. Survei BKKBN (2022) mengungkap 40% remaja Indonesia menganggap hubungan seks pranikah “biasa saja” selama suka sama suka. Ini buah dari paparan konten yang menormalisasi zina, ditambah ketidakhadiran orang tua sebagai pendamping. Allah SWT mengingatkan dalam Q.S. Al-Isra’: 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji…”. Namun, bagaimana anak akan memahami ini jika orang tua sibuk dengan gawainya sendiri?
Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa larangan ketat terhadap gawai justru menghambat potensi anak di era digital. Benarkah? Di Jepang dan Finlandia—negara dengan literasi teknologi tinggi—penggunaan gawai di sekolah tetap dibatasi dengan prosedur ketat. Islam pun tidak anti-kemajuan, tetapi mengajarkan prinsip “tasarruf al-insan bi al-asbab” (manusia wajib memanfaatkan sarana dengan bijak). Membiarkan anak tanpa bimbingan ibarat menyerahkan pisau tajam kepada balita: berbahaya!
Langkah nyata harus segera diambil agar anak-anak terhindar dari dampak negatif dunia digital. Orang tua perlu menerapkan pengawasan yang ketat dengan membatasi waktu penggunaan gadget melalui penerapan screen time, pemanfaatan aplikasi parental control, serta penyusunan jadwal aktivitas offline yang konsisten. Dengan demikian, anak-anak tidak akan terlalu terpaku pada dunia maya dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan interaksi sosial yang lebih sehat.
Selain itu, penting untuk membangun komunikasi yang intensif dan mendalam, sehingga tercipta kedekatan emosional yang membuat anak tidak mencari pelarian di dunia digital. Dalam konteks ini, peran orang tua sebagai teladan juga sangat krusial. Mereka harus menunjukkan contoh yang baik dalam penggunaan gawai dan interaksi sosial, sehingga nilai-nilai yang positif dapat tertanam sejak dini.
Kerjasama dengan pihak sekolah juga perlu ditingkatkan guna mendorong pelaksanaan program pendidikan akhlak dan literasi digital berbasis nilai keagamaan. Pendekatan ini diharapkan dapat memperkuat karakter serta keimanan anak, sehingga generasi penerus tidak menjadi lemah akibat pengaruh teknologi yang berlebihan. Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa’: 9, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka…”. Firman tersebut mengingatkan kita untuk tidak membiarkan anak-anak tumbuh tanpa landasan keimanan yang kuat, sehingga tidak terlena oleh kemudahan teknologi.
Mari jadikan keluarga sebagai benteng pertama dalam mencegah maksiat, demi keselamatan dunia dan akhirat.
- Log in to post comments